Aksi Penolakan Warga

Aksi Penolakan Warga

Jumat, 23 Juli 2010

KRONOLOGIS PENOLAKAN PENDIRIAN GEREJA DI MUSTIKAJAYA

KRONOLOGIS
PERISTIWA PENOLAKAN RENCANA PENDIRIAN GEREJA HKBP
DI CIKETING MUSTIKAJAYA
1.Tanggal 20 Juni 2010 pada hari Minggu Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat, melakukan penyegelan terhadap rumah yang difungsikan sebagai gereja di Jalan Puyuh Raya nomor 14, Kelurahan Mustika Jaya, Kecamatan Mustika Jaya, karena rumah tersebut menurut Asisten Daerah (Asda) II, Zaki Hoetomo telah melanggar tiga aturan hukum yakni, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum. "Peraturan Daerah (Perda) nomor 61 tahun 1999 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Perda nomor 4 tahun 2000 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Bahkan juga telah melanggar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 8 dan No. 9 tahun 2006, peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Tata cara pendirian rumah ibadat di Kota Bekasi Bab IV pasal 8 ayat 3 huruf b dan c. dan lebih beraninya lagi mereka tidak mengindahkan segel tersebut sehingga tiga kali mendapat surat teguran, tetapi tetap membandel dan melaksanakan kegiatan ibadat di rumah tersebut.

aksi penyegelan bangunan yang dijadikan sebagai Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI) berlangsung lancar tanpa ada tindakan anarkis dan kriminal (tertib dan aman) yang disaksikan ratusan jemaat dan masyarakat Mustikajaya. Penyegelan dilakukan dengan menggunakan papan kayu berukuran 5X5 meter persegi yang bertuliskan "Bangunan Ini Di Segel Karena Melanggar PP No 36 Tahun 2005, Perda No 61 Tahun 1999, dan Perda Nomor 4 Tahun 2000 oleh Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan". Sebagaimana dilansir oleh www.antaranews.com.


Papan itu ditempel oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat di pagar rumah yang berdiri di atas lahan seluas 200 meter per segi dengan menggunakan paku beton. Kegiatan itu juga dikawal secara ketat oleh dua kompi anggota Kepolisian Resor Metropolitan (Polrestro) Bekasi bersenjata lengkap. Karena khawatir akan terjadi bentrok fisik karena pihak HKBP telah menyiapkan orang-orang bayaran, seperti pada saat penyegelan pertama dimana petugas dari dinas P2B, satpol PP, Para Tokoh dan masyarakat sekitar dikejar-kejar oleh pihak HKBP, serta diintimidasi dengan cara didatangi rumah-rumah warga sekitar dan diteriaki dengan kalimat “awas, kami telah membayar pembunuh bayaran untuk membunuh mu” demikian ancaman HKBP terhadap warga RW 015.

Dalam negosiasinya pemerintah kota Bekasi dengan jema’at HKBP Pondok Timur ternyata pemerintah Kota Bekasi telah menawarkan lokasi pengganti di PTI yakni di Kp. Kelapa Dua Kelurahan Padurenan di kompleks Ajenad, kedua di komplek Kodim 02, ketiga di Tajimalela.

namum dalam pelaksanaannya mereka menolak menempati lokasi yang telah ditawarkan tersebut, mereka tetap tidak mengindahkan hukum yang berlaku.

2. Tanggal 27 Juni 2010 walaupun telah dilakukan penyegelan ke-tiga kalinya mereka tetap melakukan kebaktian di rumah tersebut. Tetapi dengan alasan kebaktian dilakukan di halaman rumah. Namun pada pelaksanaannya mereka melaksanakan kebaktian di dalam rumah yang sudah disegel.

3. Tanggal 05 Juli 2010 FUIM dan Tokoh agama dan Masyarakat, mendatangi kantor Wali Kota Bekasi, yang dimediatori oleh Lurah, dan Camat Mustikajaya untuk menagih janji pasca penyegelan dan mempertanyakan ketegasan pemerintah Kota Bekasi, dalam pertemuan tersebut dihasilkan kesakatan 1) jika rumah tersebut masih dijadikan tempat ibadat maka warga berhak untuk membongkarnya, dengan syarat tidak terjerat hukum, artinya program pembongkaran itu legal dihadapan hukum. 2) Pemkot meminta waktu untuk mengambil keputusan sampai dengan hari jum’at tanggal 09 Juli 2010, dan member tahu hasil keputusan kepada para tokoh.

4. Tanggal 08 Juli 2010 pada hari kamis pukul 11.30 s.d. 13.00 telah dilaksanakan rapat antara Asisten Daerah (Asda II) dengan pihak HKBP PTI, yang dihadiri oleh Reni Hendrawati, Santi S. (Kesbang Polinmas), Bashirudin Yusuf (Humas Pemkot), Nurhilal (Kemenag), M. Manik (Kemenec), A. Pinto (Satpol PP), J. Irawan (Posda BIN), Iman (Lurah Mustikajaya), Junaedi (Camat Mustikajaya), Mohammad Jefry, Dyas (Hukum), Suhanda (MUI), Kapt Infantri Noormansyah (Pasi Intel Dim Bekasi).

Dengan hasil rapat akan dilakukan penambahan penyegelan di HKBP PTI dengan pasal 243 apabila segel dirusak dan rumah tersebut dipergunakan lagi untuk ibadat maka akan dikenakan sanki hukum pidana, adanya rencana pemindahan lokasi ke Kp. Ciketing Mustikajaya.

5. Tanggal 10 Juli 2010 jam 12.30 lokasi yang akan dibangun gereja atau untuk tempat kebaktian mulai dibersihkan dengan membayar preman dan warga setempat, kemudian berdatanganlah dari jema’at HKBP untuk membantu dengan pengamanan dan pengayoman aparat kepolisian, situasi pun memanas karena warga setempat menolak akan didirikan gereja, dan warga memasang tiga spanduk penolakan terhadap pendirian gereja, tetapi mereka terus berjalan membersihkan tempat yang akan dijadikan kebaktian dengan pengawalan polisi, warga setempat masih dapat menahan emosinya sehingga tidak terjadi tindakan anarkis, walaupun dari pihak jema’at HKBP ada yang sengaja ingin memperkeruh masalah agar terjadi bentrok fisik, diantaranya mereka menyamar dengan menggunakan jilbab dan kopiah haji, dan penyamarannya tertangkap oleh warga, tetapi warga tetap bersabar dan tidak terprovokasi.

6. Tanggal 11 Juli 2010 HKBP PTI melakukan kebaktian pertama kali di lokasi Kp. Ciketing Mustikajaya dengan mendapat pengawalan dan pengamanan yang ketat oleh aparat kepolisian dan TNI, mereka berani melakukan ibadat tanpa ada ijin warga setempat, dan tanpa menempuh jalur perundang-undangan yang berlaku, hanya dengan menggunakan surat yang (dalam tanda kutif) “hanya” ditandatangani Sekda yang tidak memiliki kekuatan hukum. Maka status surat tersebut tidak berkutik ketika dibenturkan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 8 dan No. 9 tahun 2006, peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Tata cara pendirian rumah ibadat di Kota Bekasi Bab IV pasal 8 ayat 3 huruf b dan c.

Yang intinya harus mendapat persetujuan warga setempat, yang ditandatangani oleh lurah dan diketahui oleh Camat.

Untuk itu wajar jika warga setempat marah dan tidak menerima kalau kampung kelahirannya dijadikan tempat kebaktian, dan rencana akan didirikan gereja, apa lagi tanpa permisi atau ijin dengan warga tersebut secara jelas dan resmi.

Dan pada saat itu tidak ada tindakan anarkis yang dilakukan oleh warga, ormas yang ada pada saat itu hanya menonton dari kejauhan yang aktif adalah warga. Tindakan yang dilakukan warga murni bentuk dari kekesalan mereka terhadap aparat pemerintah yang tidak bisa bertindak tegas, sehingga mereka meluapkan emosinya dengan membunyikan benda-benda kaleng.

7. Tanggal 18 Juli 2010, kali kedua mereka melaksanakan kebaktian dengan meminta perlindungan dan pengamanan dari aparat kepolisian yang lebih banyak jumlahnya dari minggu sebelumnya. Hal inilah yang membuat warga semakin kesal terhadap mereka karena pada minggu sebelumnya mereka sudah diperingatkan agar tidak melaksanakan kegiatan kebaktian di Kampung Ciketing Mustikajaya tetapi mereka tetap ngeyel, untuk kedua kalinya maka warga tersebut turun kesekitar lokasi sebagai bentuk wujud penolakan keras terhadap kebaktian yang dilakukan oleh HKBP. Dalam aksi yang kedua ini jumlah warga yang datang lebih banyak, karena warga se-Kecamatan Mustikajaya dari empat kelurahan telah sepakat untuk menolak rencana pendirian gereja dan kebaktian di Kecamatan Mustikajaya.
Dalam aksinya warga tetap tidak bertindak anarkis dan terkontrol, hingga pelaksanaan negosiasi yang dilaksanakan oleh FUIM sebagai fasilitator warga dengan aparat kepolisian dan pemerintahan, yang diwakili oleh Kapolres, Kapolsek, Lurah, Camat, Asda II, berjalan dengan tertib. Walaupun kesemua aparat tersebut tidak berwenang untuk menghentikan kegiatan tersebut, akhirnya mereka bersedia untuk mendatangkan perwakilan dari Kementrian Agama Kota Bekasi.
Kemudian perwakilan Kementrian Agama Kota Bekasi yang diwakili oleh Bapak Abdul Rosyid, menemui pendeta HKBP untuk menandatangani surat pernyataan yang dibuat para tokoh masyarakat dan warga, tetapi lagi-lagi pendeta tersebut tidak mau menandatanganinya. Akhirnya Bapak Abdul Rosyid sebagai pihak yang berwenang dari Kementrian Agama Kota Bekasi, bersedia menandatangani surat pernyataan tersebut sebagai penjamin bahwa tidak akan lagi diadakan kebaktian dan pendirian gereja di Kampung Ciketing Mustikajaya.

9 komentar:

  1. sangat baik terus perjuangan mu wahai warga mustikajaya

    BalasHapus
  2. Teruskan berjuang..!! Allahu Akbar..!!

    BalasHapus
  3. saya prihatin dengan adanya penolakan ini. saya sendiri bukan nasrani dan bukanlah muslim. tapi saya ingin memberikan contoh kepada kalian:
    saya setahun ini tinggal di sebuah komplek lingkungan yg penduduknya membaur. di sebelah rumah saya adalah gereja, dan 20 langkah dari rumah saya adalah mesjid. Rumah yg saya tempati tsb adalah kontrakan dari seorang Pak Haji yang sangat disegani dan dihormati masyarakat sekitar. Bisa anda bayangkan bahwa kerukunan dan sikap dewasa saling menghargai tercipta. Bayangkan kurang dari 10 meter berdiri bangunan ibadah yang berbeda. dan rumah seorang Pak Haji pun tepat di sebelah gereja. apakah ada masalah yang timbul? tidak. Apakah penduduk setempat yang muslim berpindah agama menjadi nasrani ataupun sebaliknya? tidak!

    saya ingin kalian membuka pikiran secara lebih dewasa. Tanah kita sama, tanah Indonesia. mengapa harus mengkotak2kan wilayah berdasarkan agama? mengapa kalian takut sekali bahwa keberadaan gereja tsb bisa memgancam kesatuan umat Islam? apakah di dalam hati kalian ada rasa takut terpengaruhi? jika ya, maka masalahnya dalah pada diri kalian sendiri, bukan pada pendirian gereja!

    BalasHapus
  4. @devi natalia : kemungkinan besar kampung mustikajaya adalah kampung 100 persen muslim, ya jelas-jelas dong menolak kalo tanahnya dipakai jadi gereja. Itu sudah pasti proyek pemurtadan tuh, mungkin kp. mustikajaya juga daerah miskin, makanya dijadikan proyek pemurtadan, dan didirikanlah gereja disitu. cmiiw.

    BalasHapus
  5. itu cuman konspirasi sebuah politikus busuk
    bentar lagi juga bakal terungkap

    BalasHapus
  6. saya setuju sama apa yg dikatakan devi natalia. tanah yang dipakai sama, meskipun mayoritas muslim atau bukan, tetap saja semua pihak punya hak yang sama untuk mendirikan tempat ibadah. kalau terus menerus berprasangka buruk mau jadi apa? sama saja kok seperti masjid yg didirikan di tempat2 yang banyak umat nasrani.

    masalah pemurtadan atau tidak, itu pilihan. kalau memang iman tiap orang kuat, mau dicekokin seperti apapun pasti tidak terpengaruh :)

    BalasHapus
  7. Udah, bakar aja gerejanya. Skalian ma jemaat2nya. Gak plu banyak acara. Niat'a busuk tu...

    BalasHapus
  8. mau ikutan nangepin, sebagai umat beragama yang baik tentunya mematuhi peraturan serta perundangan yang berlaku adalah hal yang harus di perhatikan. Sekarang peraturannya mengharuskan bahwa sebelum mendirikan tempat ibadah, harus terlebih dahulu meminta persetujuan pihak terkait (pemda, maupun warga).Jika hal tersebut tidak terpenuhi tentunya sangat tidak santun apabila masih ada pihak yang ngotot untuk mendirikan bangunan tersebut (hal ini berlaku untuk semua agama di Indonesia).
    Intinya tinggal bagaimana ke arifan dari kedua belah pihak, kekerasan memang bukan jalan yang terbaik, namun alangkah lebih baik jika masing-masing pimpinan dari pihak yang bersengketa (pemuka agama) bisa menentramkan para umatnya, dan tidak berlaku seolah-olah dia yang paling benar sendiri sehingga semuanya di halalkan.

    Disc : hanya sekedar opini pribadi tanpa ada maksud menjatuhkan pihak-pihak tertentu.

    BalasHapus
  9. Boleh ngga postingan ini sy tempel diblog saya,termasuk alamat urlnya.trims

    BalasHapus